Harmony History (part 1)
- matahari pagi
- Jan 1, 2022
- 11 min read
Turki Usmani: Şehzade Camii, Vefa dan Süleymaniye Camii
Pelafazan huruf-huruf turki: "Ç" dibaca c biasa, "C" dibaca j, "Ş" dibaca sy, "V" dibaca w.
Kosa kata Bahasa turki: “Hoca” artinya guru besar, “Cami” artinya masjid, “Külliye” artinya komplek masjid, “Medrese” artinya sekolah tinggi, “Tabhane” artinya tempat penginapan, “İmaret” artinya dapur dan tempat makan umum, “Sibyan Mektebi” artinya taman kanak-kanak, “Çeşme” artinya kran air minum, “Şadirvan” kran air untuk berwudlu.
Dalam acara rekreasi bersama pelajar-pelajar asing lainnya, beberapa waktu lalu saya mendapat kesempatan untuk bisa ikut dalam acara ini. Selain jalan-jalan, kami juga belajar didampingi salah satu guru, yang dalam bahasa turki kami menyebutnya hoca, dari bidang sejarah. Beliau menjelaskan kapan dan dimana kami akan bertemu untuk memulai acara ini.
Şehzade Camii, Vefa dan Süleymaniye Camii merupakan bangunan-bangunan bersejarah yang sampai saat ini masih berdiri kokoh. Tiga tempat tersebut akan menjadi objek yang akan kami kunjungi nantinya, dan sesuai dengan lokasi satu objek ke objek lainnya tidak saling berjauhan. Jadi kami akan mengelilinginya dengan berjalan kaki.
Pukul 10.00 waktu turki. Kami semua berkumpul di Stasiun Kereta Vezneciler. Hoca yang akan mendampingi kami pada saat saya datang beliau menyapa dan memperkenalkan dirinya karena pada saat itu kami memang baru petma kali bertemu. Setelah mengetahui kewarganegaraan saya, beliau bercerita tentang murid-muridnya dari Indonesia yang dulu pernah beliau undang ke rumah beliau dan menyajikan beberapa makanan untuk dinikmati bersama, namun dari sekian makanan yang ada murid-murid dari Indonesia tersebut hanya mengambil nasi dan lauk ayam. Setelah beliau tawarkan beberapa makanan lainnya, akhirnya beliau menyadari bahwa orang Indonesia tidak biasa mengkonsumsi makanan yang berbahan dasar yogurt. Dari situlah mereka membuat kesan yang selalu diingatnya sampai sekarang.
Selang beberapa saat kemudian, setelah kami semua berkumpul, kami memulai perjalanan kami dengan sarapan bersama di Bahçe Café. Setidaknya kurang lebih perjalanan kami akan berlangsung sekitar empat sampai lima jam.
Setelah sarapan kami memulai dari objek yang pertama yaitu Kalenderhane Camii. Sebelum menuju ke Şehzade Camii, kami mengunjungi Kalenderhane Camii terlebih dahulu karena masjid ini adalah salah satu masjid yang dulunya adalah gereja ortodoks. Beberapa bangunan sudah diubah menjadi benar-benar masjid, tapi masih banyak juga bagian-bagian yang tidak diubah seperti dinding, kubah dan ada juga beberapa gambar khas gereja yang masih tersisa di masjid tersebut. Hanya melihatnya sekilas orang-orang yang pernah mengunjungi Ayasofa Camii akan merasa Kalenderhane Camii ini memiliki kemiripan jenis warna batu yang digunakan untuk dinding-dindingnya.
Hoca kami bertanya bagaimanakah cara kita mengenali sebuah masjid yang dulunya pernah menjadi gereja? Salah satu jawabannya adalah tempat imam dan mimbarnya. Jika sebuah bangunan memang diperuntukkan untuk membangun masjid, maka biasanya pintu masuk utama masjid akan sejajar lurus dengan tempat imam. Namun di Kalenderhane Camii ini, seperti halnya juga di Ayasofya Camii dan beberapa masjid yang dulunya gereja, memiliki tempat imam yang miring dan tidak sejajar dengan pintu masuk. Selain itu juga kita bisa mengenali dari jenis marmer, jenis batu dan juga biasanya didinding-dinding masjid bekas gereja terdapat relief-relief di beberapa dindingnya.
Setelah itu kami berjalan lagi menuju objek selanjutnya, yaitu Damat İbrahim Paşa Çeşmesi, atau kran air minum[1] Damat İbrahim Paşa. Tepatnya diujung jalan setelah toko-toko kecil di pinggir jalan raya. Dikisahkan bahwa İbrahim Paşa adalah menantu dari Sultan Ahmet ke III. Beliau salah satu menantu yang paling dibanggakan oleh sultan, karena kedermawanannya dan kepandaiannya berinovasi terhadap pembangunan negara. Namun saat ia tidak bisa menyelesaikan masalah ekonomi pada saat itu, ia dibunuh dengan sangat tragis oleh beberapa orang yang tidak menyukainya. Karena perasaan sedih dan kehilangan, akhirnya Sultan membuatkan kran air minum di depan masjid yang dulunya İbrahim Paşa dan istrinya membangun sebuah masjid dan perpustakaan disitu.
Tempat ini sangat asri dan unik karena ukuran masjid dan perpustakaan terlihat sangat kecil. Di bagian pintu masuk masjid dan perpustakaan tersebut terdapat marmer dengan ukiran tulip karena semasa İbrahim Paşa hidup, para kelompok elit Usmani sangat menggemari bunga tulip. Saat ini masjid, perpustakaan dan beberapa ruangan didalamnya digunakan oleh organisasi wakaf Turkistan Timur.
Setelah mendengarkan cerita tentang Ibrahim Pasa, kami melanjutkan perjalanan kami ke Şehzade Camii. Di wilayah masjid, tepatnya di ujung pagar belakang masjid dan di depan İbrahim Paşa Çeşmesi terdapat sebuah batu marmer hijau yang merupakan tanda pusat tengah kota Istanbul. Konon pada zaman dahulu, ketika Mimar Sinan seorang arsitek terkenal di zaman turki Usmani sedang membangun komplek masjid di Şehzade Camii, beliau menakar titik pusat kota Istanbul dari daerah Eyup sampai Sarayburnu. Dan ditemukanlah titik pusat tersebut di bagian depan ujung Şehzade Camii. Lalu untuk menandakan keberadaan titik tengah tersebut, ia meletakkan batu marmer hijau yang disebut Yeşil Somaki Taşı.
Şehzade Camii merupakan sebuah masjid yang dibangun untuk mengenang anak tercinta dari Kanuni Sultan Süleymaniye. Şehzade berarti Pangeran dalam bahasa kita. Ia meninggal dalam perjalanan pulangnya dari perang di Hungaria. Masjid ini merupakan simbol kasih sayang Sultan Suleymaniye kepada anak tertuanya.
Bangunan dalam masjid sudah mengalami banyak perubahan dan perbaikan. Namun denahnya tetap sama. Masjid ini merupakan projek paling penting khususnya untuk mimar sinan sendiri. Masjidya dibangun dengan latar depan air mancur şadirvan[2] dan di komplek masjidnya terdapat külliye yang di gunakan untuk: Medrese atau sekolah, Tabhane atau tempat tinggal untuk musafir dan orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal, İmaret atau dapur dan tempat makan para siswa dari medrese, dan siapapun yang membutuhkan makanan, Sibyan Mektebi atau dalam bahasa kita taman kanak-kanak.
Ada salah satu yang unik ketika saya masuk ke bagian imaret, yaitu tempat pembagian makanannya. Orang yang memasak dan orang yang akan mengambil makanan tidak berada didalam satu ruangan. Ruangan tersebut bersebelahan dan hanya ada satu lubang kecil untuk para koki membagikan makanan. Mengapa demikian? Karena makanan-makanan ini tidak diperuntukkan bagi orang-orang miskin saja, namun siapapun kaya atau miskin, tua atau muda diperbolehkan mengambil makanan dari sini. Oleh karena itu sang koki ketika membagi makanan tidak dibolehkan melihat wajah orang yang mengambil makanan tersebut. Untuk merahasiakan identitas mereka yang mengambil makanan.
Selain itu ada juga yang unik dari masjidnya, yaitu pintu masuk Sultan yang terpisah dengan yang lain. Letaknya disebelah kiri masjid bagian depan. Jadi ketika akan sholat berjamaah, Sultan biasanya menggunakan pintu ini untuk masuk masjid. Setiap masjid yang dibangun oleh sultan pasti selalu ada pintu khusus untuk keluar masuknya Sultan kedalam masjid.
Di area pemakaman di belakang masjid, belum lama dimakamkan seorang penulis dan penyair terkenal, Sezai Karakoç. Berita meninggalnya beliau sangat tersebar di media sosial. Karena tulisan-tulisan beliau selalu dipenuhi dengan makna. Sebelum meninggal beliau memang mewasiatkan untuk dimakamkan di pemakaman Şehzade Camii.
Lalu kami berjalan lagi menuju Vefa. Di daerah vefa ini terdapat sebuah bangunan tua yang dulunya dipakai sebagai sekolah SMA pertama yang mengajarkan bahasa ibu. Karena pada zaman dulu sekolah-sekolah mengajarkan bahasa perancis, bahasa jerman dll. Saat ini bangunan tersebut tidak lagi digunakan untuk sekolah melainkan untuk asrama. Lalu kemudian kami berpindah kesebuah bangunan bersejarah juga yang terlihat cukup tua dan terlihat seperti tidak ada perubahan dari zaman dibangunnya bangunan tersebut. Recai Mehmet Efendi Sibyan Mektebi yang dulu selain menjadi Sibyan Mektebi, bangunan tersebut juga pernah digunakan sebagai perpustakaan dan saat ini di pakai oleh organisasi wakaf ilim yayma sebagai perpustakaan juga.
Di Vefa juga terkenal minuman fermentasi yang terbuat dari biji gandum, air, gula lalu di fermentasikan hingga menjadi minuman boza. Vefa Bozacisi merupakan bisnis boza yang cukup terkenal. Karena selain boza didalamnya juga terdapat berbagai fermentasian seperti cuka, dan juga ada air anggur. Air anggur disini adalah air anggur yang fermentasinya sebelum menjadi alcohol.
Setelah menikmati minuman khas Vefa kami melanjutkan perjalanan kami ke sebuah masjid yang lokasinya sangat terpencil, masjid ini dulunya juga sebuah bangunan gereja. Yaitu Molla Gürani Camii. Karena dalam rekonstruksi, masjid ini hanya dibuka pada waktu sholat saja. Namun ketika kami datang, hoca kami meminta izin kepada tamir masjidnya untuk diperbolehkan masuk. Dari bangunan depannya saja, batu-batu yang berukir salib dan berbagai macam gambar bintang masih terpajang di masjid tersebut. Setelah kami mendapatkan izin, kami mulai masuk dan melihat-lihat isi masjid. Sejujurnya masjid ini terlihat seperti masjid baru karena adannya rekonstruksi. Namun, ketika kami melihat keatas yaitu ke bagian kubah masjid ini, masih terpajang jelas gambar-gambar yesus dan beberapa gambar lainnya.
Di teras samping masjid juga masih banyak sisa-sisa batu bekas gereja. Salah satunya ada di pintu masuk di samping masjid, terdapat batu yang terukir lambang daun injil, dll.
Dari Molla Gurani Camii kami berjalan lagi menuju Ebu-l Vefa Camii. Bagaimanakah kisah dibalik Ebu-l Vefa Camii ini?
Hoca menjelaskan bahwa dibalik nama Ebu-l Vefa memiliki kisah yang tersirat. Sebelumnnya itu saya ingin menjelaskan siapa itu Ebu-l Vefa. Beliau adalah seorang Ulama penting dan guru spiritual pada masa Kepemimpinan Fatih Sultan Mehmet dan Sultan Beyazit II. Beliau juga salah satu dari keturunan Sufi terkenal Mevlana Celaleddin Rumi.
Fatih Sultan Mehmet adalah salah satu sultan yang sangat menghormati para ulama-ulama. Pada zaman setelah menaklukkan kota konstantinopel, beliau sangat ingin bertemu dengan Şeyh Ebu-l Vefa. Namun pintu tersebut tidak pernah terbuka untuk sultan. Padahal pintu itu selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin bertemu dengan Şeyh Ebu-l Vefa, bahkan seorang pemabuk pun diperbolehkan masuk. Mendengar penolakan tersebut Fatih Sultan Mehmet merasa amat sedih dan berusaha untuk dapat menemuinya di lain waktu.
Namun seberapa kalinya Sultan datang untuk menemui Şeyh Ebu-l Vefa, beliau tetap menolak dan tidak membolehkan Sultan untuk masuk. Lalu untuk mencari alasan tersebut sang Sultan mencoba memerintah asistennya untuk datang menemui Şeyh Ebu-l Vefa. Setelah kembali, asisten tersebut menjelaskan mengapa Şeyh Ebu-l Vefa tidak membolehkan Sultan masuk.
Ebu-l Vefa menjelaskan bahwa “Jika saya membolehkan Sultan masuk, pasti beliau tidak akan pernah ingin keluar dari sini, jika Sultan tidak ingin keluar dari sini berarti sultan akan meninggalkan jabatannya di negara, jika Sultan meninggalkan jabatannya di negara berarti Sultan akan meninggalkan amanahnya, dan jika semua itu terjadi saya dan Sultan sekalipun sama-sama akan berdosa. Maka dari itu saya tidak akan pernah mengizinkannya masuk”.
Mengapa demikian? Karena Şeyh Ebu-l Vefa ini adalah seorang guru spiritual yang mengajarkan kebersihan hati dengan ibadah dan mendekatkan diri pada Allah. Para guru-guru seperti beliau biasanya mengajarkan pada muridnya untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang berbau duniawi. Apakah itu buruk untuk Sultan? Tidak sama sekali, namun keberadaan Sultan di negara sangat dibutuhkan oleh masyarakatnya. Maka dari itu jika Sultan meninggalkan jabatannya atau meninggalkan hal-hal yang berbau duniawi sama saja Sultan meninggalkan amanahnya. Pada akhirnya mereka melakukan ibadah mereka dengan caranya masing-masing.
Sampai akhir hayat Fatih Sultan Mehmet, tidak pernah bertemu dengan Şeyh Ebu-l Vefa. Namun doa-doanyalah yang selalu mempetemukan mereka. Dan ketika Fatih Sultan Mehmet wafat, Şeyh Ebu-l Vefa lah yang menjadi imam dan berdiri di sampingnya. Dan itulah pertemuan pertama dan terakhir Şeyh Ebu-l Vefa dengan sang Sultan.
Perjalanan kami pun dilanjutkan dengan menelusuri jalan kecil yang sedikit terjal menuju ke Suleymaniye Camii. Di tengah-tengah perjalanan kami pun, terdapat sebuah bangunan yang bersejarah, yang mana disekitarnya merupakan pemukiman warga. Bangunan tersebut adalah perpustakaan Atif Efendi. Perpustakaan ini merupakan perpustakaan yang sangat tua, karena dibangun pada tahun 1700an. Susunan bangunannya yang tidak berubah menjadikan perpustakaan ini mudah dikenal sebagai peninggalan masa Usmani. Salah satu bagian paling khas dari bangunan perpustakaan ini adalah letak jendela-jendelanya yang bertingkat, seolah dibuat sengaja untuk menghindari sinar matahari.
Atif Efendi dulunya sebelum mengoperasikan bangunan tersebut menjadi perpustakaan, ia adalah seorang staf di medrese. Hoca kami menjelaskan bahwa bengunan itu juga sebelumnya bukan perpustakaan, namun medrese dan Atif Efendi merupakan stafnya. Lalu setelah medrese dibubarkan ia mengubah bangunan tersebut menjadi perpustakaan yang sampai sekarang masih berdiri tegak di tengah pemukiman warga.
Mimar Sinan Turbesi atau Makam Mimar Sinan adalah objek selanjutnya yang akan kami kunjungi. Mimar Sinan, namanya selalu terkenal disepanjang sejarah masa Usmani. Beliau sebagai arsitek yang menggambarkan, mendesain, membangun setiap bangunan-bangunan dengan sangat teliti hingga masih bisa dinikmati keindahannya sampai saat ini. Beliau selalu bisa memecahkan masalah di setiap bangunan yang tidak bisa dipecahkan oleh arsitek lainnya.
Karya-karya beliau seperti masjid beserta kompleknya, istana, jembatan dan masih banyak lagi. Beliau lahir pada tahun 1488 dan wafat pada tahun 1588 masehi. Gelar tertinggi yang beliau dapat selama hidupnya adalah kepala arsitek pemerintahan ottoman. Beliau dimakamkan di sebelah salah satu karya terbesarnya yaitu Süleymaniye Camii. Makamnya terletak di antara dua gang kecil dan ditandai dengan batu nisan polos berwarna putih. Namnu dibalik keindahan karya-karyanya, terdapat satu cerita tragis yaitu hilangnya tengkorak kepala didalam makam Mimar Sinan.
Ketika itu pada tahun 1930an, sebelum masa perang dunia kedua, masyarakat di wilayah eropa khususnya sangat sensitif dengan perbedaan suku bangsa, atau biasa disebut disebut menganut pandangan rasisme. Mereka akan memerangi semua orang yang mereka anggap tidak satu pemikiran dan satu suku bangsa yang sama. Dari kepercayaan inilah beberapa peneliti dari sebuah institute ternama, mempercayai bahwa arsitek terkenal Mimar Sinan bukanlah keturunan asli turki melainkan dari keturunan bangsa lain. Untuk menemukan jawaban dari penelitian ini, berangkatlah mereka ke makam Mimar Sinan untuk menggali makamnya dan mengambil tengkorak kepala Mimar Sinan untuk diteliti dari ras manakah beliau. Namun hal ini tidak menunjukkan hasil yang spesifik dan para peneliti tersebut diduga telah menghilangkan tengkorak kepala Mimar Sinan yang mereka ambil untuk diteliti tersebut. Jadinya untuk saat ini, makam Mimar Sinan tersebut menjadi kisah sedih karena didalam makamnya hanya terkubur tubuhnya saja.
Kami mendengar cerita tersebut sangat terpukul karena dari beliaulah kami mengenal keindahan sejarah yang benar-benar masih berdiri kokoh dihadapan kami. Namun kisah sedih ini segera berlalu karena, kami harus melanjutkan perjalanan kami ke sebuah karya spesial beliau, Suleymaniye Camii.
Masjid ini dibangun pada tahun 1550 dan selesai pada tahun 1557 masehi. Dibangun pada masa kepemimpinan Kanuni Sultan Süleymaniye. Masjid ini terinspirasi dari bangunan Ayasofya dan juga Beyazit Camii. Keunikan yang sempat hoca sampaikan pada kami, dan juga saya pun telah mendengarnya berkali-kali, yaitu tentang peletakan kubus-kubus akustik di dalam masjid tersebut. Gunanya adalah untuk mengaungkan suara imam agar terdengar keseluruh masjid karena pada saat itu alat seperti microfon dan salon untuk pembesar suara tidak ada, jadi Mimar Sinan menggunakan akustik tersebut agar suara imam ketika mengimami sholat dapat terdengar keseluruh masjid.
Keunikan yang kedua yaitu telur burung unta yang tergantung di lampu gantung masjid. Jika kita semua memperhatikan, bahwa lampu-lampu masjid di turki hampir keseluruhan sama, berbentuk melingkar dan besar. Hoca menunjuk sebuah benda bulat yang didesain sekilas mirip lampu atau hiasan lainnya, namun ternyata setelah dijelaskan itu adalah sebuah telur dari burung unta. Apa kegunaannya? Yaitu sebagai pengusir hama seperti serangga-serangga yang memasuki masjid.
Lalu hoca juga menjelaskan tentang kubahnya yang berwarna gelap, jadi dulu pada masa itu, orang-orang tidak menggunakan lampu untuk alat penerangan. Begitu pula dengan masjid yang tidak diterangi oleh lampu seperti saat ini melainkan diterangi oleh lampu lilin yang berbahan bakar minyak tanah atau gas. Setiap lampu lilin ini menyala, ia akan menghasilkan asap hitam. Jika lampu tersebut dipakai hanya sebulan dua bulan saja, mungkin tidak akan terjadi apa-apa pada kubahnya, namun lampu lilin tersebut digunakan selama bertahun-tahun dan mengakibatkan kubah masjid menjadi warna gelap.
Di luar masjid, dapat ditemukan beberapa komplek yang terdiri dari medrese, perpustakaan, ruang khusus kebidanan, imaret dll. Kala itu medrese menempati 4 komplek yang mana diisi oleh kurang lebih sekitar 300 murid yang belajar disana.
Di belakang masjid, terdapat komplek pemakaman yang mana terdapat makam Kanuni Sultan Süleymaniye dan juga putrinya Mihrimah Sultan. Menyinggung soal Mihrimah, di Üsküdar Istanbul juga terdapat masjid dengan kisah cinta yang tersirat didalamnya. Nama masjid itu adalah Mihrimah Camii. Dikisahkan bahwa arsitek terkenal Mimar Sinan jatuh cinta pada putri Sultan yaitu Mihrimah, namun Sultan sudah menjodohkan Mihrimah dengan laki-laki lain. Karena cintanya yang tak berbalas, maka untuk menyatakan cintanya Mimar Sinan membangun dua masjid yang jarak antara keduanya cukup jauh, satu di Üsküdar (bagian asia) dan satu lagi di Edirnekapi (bagian eropa). Setiap tanggal 21 maret, terdapat fenomena yang sangat indah diantara dua masjid ini, yaitu matahari akan tenggelam di bagian Mihrimah edirnekapi dan bulan akan muncul di bagian Mihrimah Üsküdar. Arti dari fenomena ini adalah arti dari nama Mihrimah yaitu Matahari dan Bulan. Dan kisah inilah yang menjadi penutup program kami hari itu.
Dan akhirnya kami telah menyelesaikan program ini dengan penuh ilmu yang saya harap teman-teman yang membaca akan ikut terkesima dengan apa yang saya tuliskan disini. Hari itu saya sangat Lelah tapi benar-benar tidak ada ilmu yang sia-sia. Semua perjalanan yang kami lalui benar-benar membuat kami merasa hidup juga di zaman itu, ikut merasakan betapa kuatnya keindahan yang dijaga hingga saat ini.
Saya ucapkan terima kasih kepada penyelenggara program ini, semoga saya bisa melanjutkan lagi berjalan-jalan sambal belajar dan berbagi kepada teman-teman semua. Terima kasih sudah membaca sampai titik ini. Semoga apa yang saya rasakan juga dapat teman-teman rasakan di lain kesempatan.
[1] Kran Air Minun atau Çeşme adalah sebuah bangunan kecil yang biasanya berbentuk kotak persegi memanjang keatas. Biasanya tingginya sekitar dua sampai dua setengah meter. Lalu ditengah-tengahnya terdapat kran air, yang mana air yang keluar dari kran tersebut adalah air alam untuk diminum. Lalu dibagian atas, biasanya terdapat ukiran-ukiran tulisan dalam huruf arap yang menyebutkan sebuah nama agar dengan mengambil air dan meminumnya adalah untuk mendoakan orang tersebut. Ini juga menjadi salah satu kegiatan wakaf yang orang-orang pada zaman ottoman lakukan untuk mengenang para tantara yang gugur. [2] Şadirvan adalah sebuah penampungan dengan beberapa kran. Biasanya orang-orang menggunakannya untuk mengambil air wudlu.
Comments