top of page
  • Writer's picturesenja sore

My Parents

Sebelum mulai membaca, aku harap aku tidak menambah kesedihan kalian. Karena disini, aku hanya ingin berbagi perasaan yang aku alami. Semoga perasaan yang kubagikan dapat menciptkan pelukan-pelukan hangat kalian bersama orangtua.


Sudah hampir lima tahun sudah aku hidup dan berjuang tanpa ibu atau bapak. Awalnya berjalan baik-baik saja karena adanya kepedulian orang-orang sekitar, teman-teman, nasehat dan motivasi yang selalu terasa ku tidak akan pernah sendiri. Tapi hidupmu, hanya kamu yang menjalani. Mereka tidak akan selamanya ada di sampingmu. Kamu harus dapat berjuang sendiri. Setelah semua awan hitam mengikatku, pada akhirnya aku menemukan secercah sinar matahari yng menyinariku. Yang kufikir ia datang untukku. Tapi ternyata tidak. Aku yang berusaha mengejarnya.

Bapak adalah seorang pendongeng yang keren. Setiap malam sebelum tidur, ia selalu membawakan cerita dengan memperagakan segala suara dan gerakan pada cerita tersebut. Meski sebelas tahun sudah ia tiada, meski foto-fotonya tak banyak di album foto telefonku, aku masih dapat mengingat jelas wajahnya. Ia selalu membelaku dengan keadaan apapun. Saat aku harus bertengkar dengan saudaraku, atau saat ibuk harus marah karna kenakalanku, bapak selalu membelaku.

Takdir sebagai anak terakhir tidak seindah yang dibicarakan orang-orang. Apa yang terlihat sebagai anak terakhir hanya kasih sayang dan manjaan yang terus tanpa henti mengelilinginya. Padahal apa yang dirasakan dalam hati yang terdalam tidak pernah bisa dibayangkan oleh siapapun. Kamu tahu apa? Kehilangan mereka ketika usiamu belum cukup mampu untuk bertahan hidup sendiri. Dari kecil aku selau berusaha menghindari perasaan kehilanga itu. Aku selalu menghindar dari pertanyaan-pertanyaan "bagaimana jika salah satu dari mereka harus pergi?".

Dan itu terjadi. Saat usiaku masih empat belas tahun. Saat aku mengharapkan kesembuhannya, takdir berkata lain. Sejak aku duduk di bangku SD, kondisi kesehatan bapak mulai menurun. Ia harus keluar masuk rumah sakit untuk berobat. Dan itu cukup membuatku khawatir tentang ketakutanku. Di akhir usianya, ia pernah sekali menangis karena kedatanganku menemuinya di rumah sakit. Aku datang karena dari sekolah hanya memberikanku izin hari itu. Entah perasaan apa yang dirasakannya hari itu. Mengapa ia begitu bersedih melihatku, mengapa rasanya pelukan itu seolah berbicara "jaga dirimu baik-baik, bapak pergi dulu ya..."

Aku tahu manusia setiap ujung hidupnya adalah maut. Tapi melihat mereka yang harus merasakannya terasa sangat amat pedih. Dan duri-duri itu satu per satu datang untuk mengujiku apakah aku mampu menghadapinya.

Setelah kabar duka itu tiba, kakiku yang semula berdiri, seolah tidak ada otot lagi yang menyangga, seolah aku dihempas oleh angin dan menjatuhku ke bumi.

Hari itu, aku melihat banyak sekali kebohongan dimata ibu. Mata yang seolah terlihat tegar padahal rapuh tak bersisa didalamnya. Ia yang berusaha kuat saat memelukku. Ia yang berusaha menguatkan anak-anaknya yang disaat yang sama ia lebih rapuh daripada kita semua.

Di mataku, ibu adalah seorang yang penuh dengan kedamaian. Penuh dengan cahaya. Senyumannya yang menghiasi harinya seakan dapat menyiram seluruh tanaman yang ia lewati. Di hidupku seolah tidak ada hal lain yang memenuhi selain keberadaannya. Ibu mengajarkanku banyak hal. Ibu pernah bilang, perempuan harus dapat hidup mandiri dan tidak boleh bergantung pada siapapun. Ia harus serba bisa sehingga nantinya akan bisa banyak mengajari anak-anaknya saat jadi ibu kelak. Ibu adalah motivator terbesar dalam hidupku, karena ketika saatnya aku menjadi ibu nanti, aku akan menjadi sepertinya.

Aku tahu, aku tidak cukup baik untuknya, bahkan mungkin aku selalu mengecewakannya, aku selalu membuatnya bersedih, aku selalu membuatnya menangis. Aku tahu itu semua, aku akui aku memang lambat dalam mempelajari dan memahami sesuatu. Dan keterlambatan itulah yang selalu aku sesali.

Ada satu kesamaan yang kami miliki. Kami berdua adalah orang yang selalu menutupi luka di belakang kami. Kami tidak pernah saling bercerita tentang luka dan kesedihan yang kami alami. Kesamaan itu yang menjadi sebuah mimpi buruk bagiku.

Satu minggu sebelum kepergian ibu, aku merasakan begitu banyak firasat buruk yang akan kualami. Hari itu ulang tahunku, ibu berjanji untuk membuatkanku beberapa nasi kotak untuk dibagikan kepada teman-temanku di asrama. Tapi hari itu sepertinya ibu sibuk, ibu tidak sempat membuatkannya dan meminta maaf padaku. “tidak perlu” kataku dalam hati. Aku benci karena ibu bersikap seolah hari itu adalah hari yang sangat penting. Padalah kami bukan keluarga yang memiliki budaya merayakan ulang tahun, akupun tak pernah memintanya. Aku benci karena sikap ibu mendorongku pada firasat yang menghantuiku. Aku benci perasaan itu, perasaan yang membuatku takut dan kesepian.

Malam hari ketika ibu akan tidur, dan perasaanku tak dapat kubendung lagi, aku menangis disampingnya. Memeluk erat tangannya seakan tak ingin berpisah darinya. Dalam hatiku bicara “jika firasatku benar, apakah boleh aku menggantikannya?”. “kamu kenapa nak? Ibu salah apa? Ibu minta maaf ya…” bisiknya padaku. Aku tak dapat menjawab sedikitpun kata-kata, aku hanya berharap firasatku tidak benar.

Tapi, semakin aku lari dari firasat itu, semakin dekat pula apa yang aku takutkan. Keesokan harinya, ibu mengantarkan kotak nasi ke asramaku, dan menemuiku di depan kamar. Ia tanyakan apa yang aku tangisi semalam. Aku tak pandai berkata jujur soal perasaanku, aku hanya menjawab “masalah kerjaan buk, lagi banyak masalah aja”. Hari itu ibu pamit untuk mengadakan acara di luar kota, dan akan kembali sekitar beberapa hari kemudian.

Setelah satu minggu, kami pun akhirnya bertemu. Didalam ketakutan yang berujung penyesalan dan didalam firasat yang berujung pada nafas panjang. Aku sayang ibuk. Sambal ku kecup kening dan kedua pipinya yang mulai dingin.

Dan akupun kehilangan mereka semua disaat aku baru menyadari dan memahami keadaan. Aku kehilangan mereka disaat aku sangat membutuhkan kehadirannya. Langkah yang aku usahakan menjauh dari kenyataan itu hanya menambah beban.

Meskipun sudah bertahun-tahun terlewati, kufikir perasaan itu terkadang hilang untuk sementara dan akan kembali lagi. Tapi, aku tidak pernah bosan untuk bertahan, bertahan untuk tetap tersenyum walau hati sangat merindukannya.
6 views0 comments

Recent Posts

See All

My Best Friend

#30dayswritingchallenge “She was a good friend for me, but I wasn’t” Along time ago I met a friend, we knew each other since we were classmate when my age 17. But we never talked much thing. And she w

About Happiness

#30dayswrittingchallenge “aku juga ingin bahagia saat melihat orang lain bahagia, jika bahagia sesederhana itu” Sering kali aku dengar mereka yang dapat berbahagia saat melihat orang lain berbahagia.

Harmony History (part 1)

Turki Usmani: Şehzade Camii, Vefa dan Süleymaniye Camii Pelafazan huruf-huruf turki: "Ç" dibaca c biasa, "C" dibaca j, "Ş" dibaca sy, "V" dibaca w. Kosa kata Bahasa turki: “Hoca” artinya guru besar, “

bottom of page